TANA TORAJA, WEEKENDSULSEL — Sorotan tajam muncul terhadap keberadaan usaha penampungan material (stok file) milik Wiwin Scania Group di Jalan Poros Lapandan Batupapan, Tana Toraja. Usaha tersebut diduga kuat beroperasi tanpa dokumen UKL-UPL maupun SPPL, dua dokumen penting yang menjadi dasar legalitas pengelolaan lingkungan bagi setiap kegiatan industri atau konstruksi.
Aktivis lingkungan Manasye, yang selama ini dikenal aktif mengadvokasi isu lingkungan di Toraja, menyebut praktik itu sebagai bentuk pembiaran hukum yang mengkhawatirkan.
“Masalahnya bukan cuma soal debu yang beterbangan akibat aktivitas alat berat. Ini soal mentalitas hukum. Ketika pelanggaran seperti ini dibiarkan, berarti ada sesuatu yang lumpuh dalam sistem pengawasan lingkungan,” ujar Manasye tegas.
Ia menjelaskan, kegiatan semacam itu jelas melanggar Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal itu menegaskan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan wajib memiliki izin lingkungan sebelum beroperasi.
“Kalau izin lingkungan saja tidak ada, bagaimana bisa memastikan limbah, polusi, dan sedimentasi material mereka dikelola dengan benar?” tambahnya.
Lebih jauh, Pasal 109 UUPPLH menyebutkan bahwa pelaku usaha tanpa izin lingkungan dapat dikenakan pidana penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.
“Ini bukan pelanggaran ringan. Tapi anehnya, kegiatan mereka tetap berjalan lancar, bahkan diduga mendapat dukungan dari oknum tertentu,” ungkap Manasye.
Warga sekitar lokasi pun mulai mengeluhkan dampaknya. Salah seorang warga Lapandan yang enggan disebut namanya mengaku terganggu dengan debu tebal yang muncul setiap hari dari aktivitas kendaraan pengangkut material.
“Kalau sore itu, udara sampai sesak. Anak-anak sering batuk. Kami tidak tahu harus lapor ke siapa karena takut dianggap mengganggu usaha orang besar,” ujarnya dengan nada kecewa.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa material seperti pasir dan batu (cipping) menumpuk tanpa pengelolaan yang memadai, sementara akses keluar masuk kendaraan berat kerap menyebabkan kemacetan di jalur poros utama.
Sejumlah warga menilai, keberadaan usaha itu seolah “kebal hukum”.
Menanggapi hal tersebut, Manasye meminta Aparat Penegak Hukum (APH), khususnya Polres Tana Toraja dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk segera melakukan pemeriksaan dan penindakan.
“APH tidak boleh jadi penonton. Kalau hukum lingkungan diabaikan, maka kita sedang membuka pintu bagi kehancuran ekosistem dan kesehatan masyarakat,” tegasnya lagi.
Ia juga meminta Bupati Tana Toraja dan jajaran DPRD untuk turun langsung meninjau lokasi serta mengevaluasi izin usaha terkait.
“Ini bukan cuma soal satu perusahaan, tapi soal wibawa hukum dan komitmen pemerintah daerah dalam melindungi lingkungan hidup,” tutupnya.
Penulis : Alvin


