![]() |
Herianto Ebong, pemuda dari Kampung Kondodewata-Mappak, Tana Toraja raih gelar Pascasarjana dari Universitas Indonesia |
TANA TORAJA, WEEKENDSULSEL– Di balik hening pegunungan Mappak, ada kisah yang menusuk nurani negeri ini. Herianto Ebong, atau akrab disapa Heri, pemuda dari Kampung Kondodewata, Kecamatan Mappak, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, resmi meraih gelar Pascasarjana dari Universitas Indonesia pada Jumat (12/09/2025).
Bagi sebagian orang, gelar ini mungkin hanya simbol akademik biasa. Namun bagi Heri, yang lahir dan besar di kampung terisolasi—dengan jalanan rusak, minim jaringan telekomunikasi, fasilitas pendidikan seadanya, bahkan cerita getir warga ditandu saat sakit atau bayi lahir di jalan karena tak ada akses medis—gelar itu adalah perlawanan sunyi terhadap ketidakadilan pembangunan.
Heri membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Usai tamat SMK di Makassar tahun 2016, ia sempat gagal masuk perguruan tinggi negeri akibat terbatasnya informasi. Namun jalan panjang itu tak membuatnya surut. Ia melanjutkan kuliah di Universitas Fajar, aktif dalam organisasi mahasiswa, hingga dipercaya memimpin Presidium PMKRI Cabang Makassar periode 2020–2021.
Setelah lulus sarjana pada 2020, Heri diterima di Pascasarjana Universitas Hasanuddin, namun menundanya demi bekerja di Papua untuk membantu ekonomi keluarga. Tahun 2022, ia kembali ke gelanggang aktivisme di Kongres PMKRI Samarinda dan masuk jajaran pengurus pusat hingga 2024. Momentum itu membawanya ke Jakarta, pusat peluang yang jarang terbayang bagi anak kampung sepertinya.
Pada 2023, Heri nekat mendaftar di dua kampus bergengsi, Universitas Trisakti dan Universitas Indonesia. Keduanya menerima. Namun biaya jadi tantangan. Ia pun berjuang melamar beasiswa, hingga akhirnya berhasil menembus tembok keterbatasan itu. Kini, gelar Pascasarjana UI resmi ia sandang.
“Jika anak-anak di perkotaan bisa merencanakan kuliah di luar negeri, saya yang berasal dari kampung hanya mampu bermimpi sebatas sekolah di ibu kota provinsi. Bukan karena kami tak punya mimpi besar, melainkan karena akses dan kesempatan di kampung begitu terbatas,” kata Heri dengan mata berkaca.
Ucapan itu bukan sekadar keluhan. Ia adalah cermin betapa jurang ketimpangan pendidikan masih menganga di republik ini. Di satu sisi, anak-anak kota dengan mudah melangkah ke kampus luar negeri. Di sisi lain, anak-anak dari pelosok seperti Kondodewata harus berjuang menembus sekat dasar: jalan, listrik, jaringan, hingga guru.
Meski begitu, Heri tak melupakan akar. “Gelar ini bukan hanya milik saya, tetapi juga milik keluarga di kampung, sahabat-sahabat yang selalu mendoakan, serta para mentor yang mendukung sepanjang perjalanan ini,” ujarnya.
Ia pun menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan sejumlah tokoh nasional yang mendampinginya, di antaranya Komjen Pol. (Purn.) Drs. Gregorius Gories Mere, Benidiktus Papa, Irjen Pol (Purn.) Frederik Kalalembang, Kolonel Inf. (Purn.) Tarsis Kodrat, Robert Joppy Kardinal, dan lainnya.
Kisah Heri adalah tamparan keras bagi negara: dari kampung terisolasi, ia mampu menembus gerbang universitas terbaik di Indonesia. Pertanyaannya, sampai kapan anak-anak kampung lain harus berjalan sendirian di tengah jalan rusak, sinyal hilang, dan sekolah seadanya?
Karena jika satu Heri bisa lahir dari keterbatasan, bayangkan berapa banyak mimpi besar yang mati pelan-pelan di pelosok negeri hanya karena negara tak pernah serius membuka akses pendidikan.
Penulis:Alvin