Iklan

Iklan TOP WS

Bulangan Londong Bukan Polemik, Sismay : Tidak Sempurna Rambu Solo Tanpa Bulangan Londong

Weekendsulsel
20 Maret 2022, Maret 20, 2022 WIB


Salah satu budayawan Toraja Sismay Eliata Tulungallo.

Pandangan Sismay Eliata Tulungallo salah satu Budayawan Toraja (update 28/9/2023).

Tana Toraja || Upacara adat Rambu Solo adalah upacara adat pemakaman sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada seseorang yang sudah meninggal. Masyarakat Toraja memandang kematian sebagai perpindahan orang dari dunia ke tempat alam roh untuk peristirahatan (Puya). 


Salah satu rangkaian upacara yang di anggap sakral dalam ritual rambu solo adalah Bulangan Londong sembangan suke Baratu (Barata). Pada Ritual Mebaratu atau disumparan bulan disondongan Bintoen dilaksanakan diantara aluk pia dan aluk rante pada ritual katongkonan Sangulele dilaksanakan bersamaan dengan mangrara sampin, artinya dilaksanakan diakhir dari semua ritual pada rangkaian rambu solo' dalam acara pesta kematian. Sehingga bulangan londong muncul dari upacara anak rapasan dan rapasan sundun.


Bulangan Londong dalam arti yang sesungguhnya itu pun tidak semua kasta atau kalangan bisa melakukan ritual tersebut adalah ritual sakral dan tidak semua kalangan itu bisa melaksanakannya dalam ritual prosesi rambu solo' sapu randanan,  Bagi suku Toraja, orang yang sudah meninggal dikatakan telah benar-benar meninggal ketika seluruh kebutuhan prosesi upacara Rambu Solo telah terpenuhi. Jika belum, orang meninggal akan diperlakukan layaknya orang sakit, sehingga masih harus disediakan minuman, makanan, dan dibaringkan di tempat tidur.  


Orang-orang yang menancapkan simbuang batu yang merupakan simbol status sosial bagi yang mendirikan dan memilikinya itu layak di pa'bulangan londong. Londong itu (Jantan) di bulangan (tali yang diikatkan pada tadji ayam) jadi ayam itulah yang diaduh atau biasa di sebut dipasisaung itulah yang disebut manuk ma'bulu Londong dipasisaung ma'belo tadi itulah Bulungan Londong.


Siapa itu yang layak ma'bulangan londong ?? Adalah bangsawan bangsawan tertinggi atau mereka kaum pengatur tata tertib tanaa' bulawan yang boleh memakai itu atau kaum kaum langit pengatur tata tertib tertinggi, mereka itu tidak pernah diatur tetapi selalu mengatur yang selalu memberi contoh teladan. Itulah simbol mereka selalu memakai sambu busa (sarung putih).


Leluhur kami orang Toraja khususnya wilayah tallulembangna melarang di adakan bulangan londong kalau tidak melaksanakan ritual tertinggi boleh anak rapasan dan rapasan sundun. Bedanya anak rapasan dan rapasan sundun, kalau anak rapasan di papitu Lompo (umum) acara itu ada dimana-mana selama tujuh hari tujuh malam, itu minimal 24 ekor kerbau dikorbankan. 


Sedangkan rapasan sundun itu dua kali di upacaraadatkan yang terdiri dari Aluk Pia/Ma'batang, setelah berjejang waktu kurang lebih dua bulan lamanya baru dimasukkan di Rante (Aluk Rante) yang di sebut ma'palao atau ma' pasonglo. Setelah si mati akan di kubur maka dibawah di liang atau kuburan batu mereka akan melaksanakan suatu rangkaian kegiatan yang di sebut ma'bulangan londong atau dalam bahasa setelah belanda masuk namanya paramisi, kegiatan paramisi ini mengundang orang-orang dari berbagai tempat secara terbuka. 


Bulangan londong memakai nama itu tidak sembarang ada tahapan dan ada penyebabnya. Oleh sebab itu tidak lengkap dan tidak sempurna suatu rangkaian upacara rambu solo kalau tidak ada bulangan londong. 


Bulangan londong ini bukan polemik, harusnya bulangan londong ini harus kita lanjutkan dan laksanakan yang penting tetap sesuai dengan kebiasaan leluhur, jangan ditambah jangan di kurangi. Jadi ingat di Toraja ini lebih dulu hukum adat di banding hukum positif jadi living law mesti hidup.


Editor: Albert Agus.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Bulangan Londong Bukan Polemik, Sismay : Tidak Sempurna Rambu Solo Tanpa Bulangan Londong

Terkini

Iklan