Aktivitas penyadapan getah pinus yang dilakukan oleh PT. Kencana Hijau Bina Lestari (KHBL) di wilayah Toraja kembali menuai sorotan tajam. Praktik penyadapan yang disebut-sebut berorientasi pada keuntungan jangka panjang itu justru dinilai merusak lingkungan, mengancam keselamatan pekerja, serta menggerus kelestarian hutan pinus yang selama ini menjadi penyangga kehidupan masyarakat Toraja, Jumat (10/10/2025).
Dalam pemberitaan sebelumnya, publik menyoroti aktivitas penyadapan yang dinilai brutal dan tak berkelanjutan. Namun pihak perusahaan membantah keras tudingan tersebut.
Alfons, selaku Manajer PT. KHBL, menyampaikan bahwa “Terkait berita itu, perlu kami klarifikasi bahwa foto dan lokasi yang digunakan bukan berasal dari kegiatan PT KHBL, melainkan bekas penyadapan lama milik pemegang izin sebelumnya, kalau saya tidak salah, nama perusahaan itu PT Rosin,” ujar Alfons kepada media ini.
“Kami memiliki pabrik pengolahan getah pinus dengan masa balik modal sekitar 30–35 tahun. Karena itu, kelestarian pohon pinus sangat kami jaga. Kami juga rutin melakukan penanaman kembali agar bisa dimanfaatkan kembali dalam 10–15 tahun ke depan,” tambahnya.
Namun, fakta di lapangan berkata lain.
Berdasarkan pantauan tim media Weekendsulsel, aktivitas penyadapan di bawah pengelolaan PT. KHBL di wilayah Tana Toraja masih berlangsung dengan cara brutal, tanpa jejak nyata kegiatan reboisasi sebagaimana diklaim oleh pihak manajemen PT. KHBL.
Seorang warga di wilayah Se’seng, Kecamatan Bittuang, yang enggan disebut namanya, membenarkan kondisi tersebut. “Untuk wilayah di sini, penyadapan getah pinus memang sangat brutal. Saya belum pernah lihat ada penanaman pohon pinus, tidak tahu kalau di tempat lain. Oleh karena itu memang harus ditertibkan agar tidak semakin merusak hutan,” ungkapnya, Rabu (8/10/2025).
Temuan di lapangan ini memperkuat dugaan bahwa praktik penyadapan yang dilakukan belum sepenuhnya mengacu pada prinsip pengelolaan hutan lestari sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo. PP Nomor 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan.
Pasal 50 ayat (2) huruf b UU Kehutanan dengan tegas melarang setiap orang merusak hutan dan lingkungan di dalam kawasan hutan. Bahkan, pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (3), dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
Pernyataan “kami menjaga kelestarian” menjadi kontras dengan fakta lapangan yang menunjukkan luka di tubuh hutan Toraja. Di balik kilau keuntungan ekonomi, terselip ancaman ekologis yang dapat menimbulkan bencana jangka panjang mulai dari erosi, kekeringan, hingga hilangnya sumber air bagi masyarakat sekitar.
Warga meminta Dinas Kehutanan, DLH dan aparat penegak hukum untuk turun langsung meninjau lokasi. Sebab, hutan pinus bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi warisan ekologis dan kultural Toraja yang tak ternilai harganya.
Jika hutan pinus hancur, maka yang hilang bukan hanya pohon melainkan napas panjang peradaban Toraja itu sendiri.
Penulis : Alvin